Wayne Rooney dan Perjalanan Beratnya di Plymouth Argyle

Wayne Rooney gagal mengangkat Plymouth Argyle dari dasar Championship. Simak perjalanan beratnya sebagai pelatih dengan filosofi progresif yang menantang.

Wayne Rooney dan Perjalanan Beratnya di Plymouth Argyle

Jakarta, wibta.com  -  Wayne Rooney, nama yang pernah menjadi ikon sepak bola dunia, kini menjadi sorotan lagi. Tapi kali ini, bukan karena gemilangnya di lapangan hijau, melainkan kisahnya sebagai pelatih "Plymouth Argyle".

Rooney baru saja mengakhiri tugasnya setelah tujuh bulan, meninggalkan klub di posisi buncit klasemen Championship. Sebuah perjalanan yang penuh tantangan dan pelajaran menarik.

Ketika Wayne Rooney memimpin "Plymouth Argyle", ia mencoba menghadirkan filosofi permainan modern. Gaya progresif yang mengandalkan kiper sebagai pengatur serangan, bek sayap yang aktif masuk ke tengah, serta permainan dari kaki ke kaki jadi andalannya. Sepintas, ini terlihat menjanjikan.

Namun, hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Statistik mencatat rata-rata penguasaan bola Plymouth cukup baik di angka 48,6%, tetapi angka expected goals (xG) mereka hanya 19,39—terendah di liga.

Tim juga mencatat kebobolan terbanyak dengan xG melawan 44,03. Sulit untuk bersaing dengan kondisi seperti ini.

Rooney berusaha keras agar strategi ini bekerja. Sayangnya, tekanan dari tim lawan sering mematikan serangan Plymouth. Akibatnya, mereka kerap gagal mengembangkan permainan.

Bicara soal performa tandang "Plymouth Argyle", di era Wayne Rooney, ini menjadi mimpi buruk. Dari 13 laga tandang, mereka gagal meraih kemenangan.

Hanya tiga gol yang mampu mereka ciptakan, sementara gawang mereka jebol sebanyak 35 kali. Kondisi ini memperburuk peluang mereka untuk bertahan di Championship.

Meskipun hasil di lapangan mengecewakan, hubungan Rooney dengan pemain dan staf "Plymouth Argyle" tetap harmonis. Ia dikenal sebagai sosok yang ramah dan rendah hati.

Para pemain tampaknya tetap menghormati Rooney, bahkan banyak yang bersedia bekerja keras untuknya.

Namun, perubahan staf pelatih, termasuk kepergian asisten Pete Shuttleworth yang digantikan oleh Mike Phelan, tidak memberikan dampak signifikan. Tim tetap kesulitan menunjukkan konsistensi.

Salah satu hal yang membuat Wayne Rooney dihormati adalah kedekatannya dengan fans "Plymouth Argyle". Saat pertama kali diumumkan sebagai pelatih, banyak pendukung skeptis.

Namun, sikap Rooney yang rendah hati dan kemampuannya berinteraksi langsung dengan para fans berhasil memenangkan hati mereka.

Ia sering terlihat di sekitar kota, menyapa, dan melayani permintaan tanda tangan. Hubungan ini mungkin menjadi alasan mengapa banyak pendukung tetap memberikan waktu dan dukungan, meskipun hasil di lapangan jauh dari kata memuaskan.

Memimpin "Plymouth Argyle" bukanlah tugas yang mudah. Dengan anggaran terkecil di Championship, Rooney harus bekerja keras mencari cara untuk membuat tim kompetitif.

Cedera pemain-pemain kunci seperti Joe Edwards dan Morgan Whittaker juga mempersulit upayanya.

Selain itu, keputusan transfer seperti mendatangkan Victor Palsson, yang ternyata lebih banyak absen karena cedera, juga menjadi beban. Dalam situasi ini, bahkan pelatih terbaik sekalipun akan merasa kesulitan.

Perjalanan Rooney di "Plymouth Argyle" memang tidak berjalan sesuai rencana. Kini, pertanyaan besar muncul: apakah Rooney akan kembali melatih? Ataukah ia memilih untuk fokus pada peran lain di dunia sepak bola?

Banyak yang yakin bahwa kecintaan Rooney pada sepak bola akan terus membawanya mencoba hal-hal baru, meskipun tantangan seperti ini menguji batas kesabarannya. Mungkin, ia hanya butuh waktu untuk refleksi sebelum memutuskan langkah berikutnya.

Wayne Rooney mungkin gagal membawa "Plymouth Argyle" keluar dari jurang, tetapi kisahnya ini menjadi pelajaran berharga, baik untuk dirinya maupun dunia sepak bola.

Siapa tahu, dari pengalaman ini, Rooney bisa kembali lebih kuat dan membuktikan bahwa ia masih punya sesuatu yang istimewa untuk diberikan. Apa pun yang terjadi, nama Wayne Rooney akan selalu dikenang sebagai ikon sepak bola.***