Koruptor Dimaafkan: Kontroversi Pernyataan Presiden Prabowo yang Mengguncang Dunia Anti-Korupsi!
JAKARTA, wibta.com — Dalam sebuah pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan pandangannya mengenai penanganan kasus korupsi di Indonesia.
Ia menyatakan bahwa koruptor dapat dimaafkan jika mereka bersedia mengembalikan uang hasil kejahatannya kepada negara, baik secara terbuka maupun diam-diam. Pernyataan ini memicu berbagai reaksi dari kalangan akademisi dan peneliti anti-korupsi.
“Hai para koruptor, atau yang merasa pernah mencuri uang rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong!” ungkap Prabowo dalam pernyataannya yang mengundang perhatian publik.
Presiden juga menekankan pentingnya pemangku kepentingan untuk menjalankan kewajiban mereka dan taat pada hukum. Ia menegaskan bahwa tindakan tegas akan diambil terhadap mereka yang melanggar.
Namun, pernyataan tersebut mendapat kritik tajam dari Zainur Rohman, peneliti di Pusat Kajian AntiKorupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada.
Ia menegaskan bahwa meskipun niatnya baik, wacana pengampunan bagi koruptor bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Menurutnya, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana, sehingga penuntutan terhadap koruptor tetap harus dilakukan.
“Secara hukum saat ini tidak boleh ada pelaku tindak pidana korupsi yang tidak diproses hanya karena mengembalikan kerugian keuangan negara,” tegas Zainur.
Ia juga menambahkan bahwa pengembalian uang dapat menjadi alasan untuk meringankan sanksi hukum, tetapi tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindari proses hukum.
Alvin Nicola, peneliti di Transparency Internasional Indonesia, juga mengkritik pernyataan Presiden Prabowo. Ia menyebutnya “serampangan” karena sistem hukum Indonesia tidak mengenal amnesti bagi koruptor.
Alvin menekankan bahwa negara-negara dengan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang tinggi justru menerapkan hukuman pidana yang tegas dan perampasan aset, bukan memberikan ampunan.
“Jika tidak, maka justru akan semakin menggerus kepercayaan publik dan investor karena tidak ada kepastian hukum,” ungkap Alvin.
Ia juga mengingatkan potensi penyalahgunaan kepentingan politik jika ampunan diberikan tanpa landasan hukum yang jelas, yang dapat mendorong budaya impunitas di kalangan elit politik.
Sebagai penutup, Alvin menekankan perlunya amandemen Undang-Undang Perampasan Aset untuk mendukung wacana pengampunan koruptor yang diusulkan oleh Presiden Prabowo.
“Jika tidak, maka ini sama saja wacana dan justru akan kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi yang sudah digadang-gadang presiden sejak awal,” pungkasnya.
Pernyataan Presiden Prabowo ini menunjukkan tantangan besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, di tengah harapan masyarakat akan penegakan hukum yang lebih tegas dan transparan.***