Kenaikan PPN 12% Dinilai Memperburuk Perekonomian Indonesia, Ekonom Ungkap Fakta-Fakta Mengkhawatirkan

Kenaikan PPN 12% Dinilai Memperburuk Perekonomian Indonesia, Ekonom Ungkap Fakta-Fakta Mengkhawatirkan
Jakarta - Wikipedia

Jakarta, wibta.com - Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital CELIOS, Nailul Huda, mengungkapkan sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia berada dalam kondisi yang memprihatinkan.

 Pernyataan ini disampaikan dalam surat terbuka kepada pemerintah, sebagai respons terhadap rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

Dalam surat tersebut, Nailul Huda mencatat adanya perlambatan signifikan dalam pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2014 mencapai 5,15%, namun pada tahun 2023 angka tersebut merosot menjadi 4,8%.

"Klaim Pemerintahan Jokowi bahwa inflasi berada dalam situasi terkendali rendah tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan, di mana konsumsi rumah tangga terus menurun," ujarnya.

Nailul juga menyoroti kondisi masyarakat kelas menengah yang kini terpaksa

"memasang sabuk kencang-kencang" akibat terbatasnya kenaikan pendapatan. Kenaikan PPN dari 10% menjadi 12% dan lonjakan harga Pertalite sebesar 30% pada tahun 2022 semakin menambah beban finansial mereka.

 "Pengeluaran masyarakat kini jauh lebih besar dibandingkan pendapatan, menciptakan kondisi 'lebih besar pasak daripada tiang'," jelasnya.

Lebih lanjut, Nailul mengungkapkan bahwa rata-rata upah minimum regional pada tahun 2022 hanya meningkat sebesar 1,09%, yang jelas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat.

"Banyak dari mereka terpaksa berhutang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari," tambahnya.

Kondisi pasar tenaga kerja juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, dengan 64.751 orang di-PHK per 18 November 2024, meningkat 11,7% dibandingkan tahun sebelumnya.

Nailul menjelaskan bahwa melemahnya daya beli masyarakat menjadi salah satu faktor utama di balik angka pengangguran yang meningkat. 

"Indonesia bahkan mengalami deflasi dari Mei hingga September 2024, yang menunjukkan penurunan harga secara umum," ungkapnya.

Nailul memperingatkan bahwa situasi saat ini mirip dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998, di mana penurunan permintaan barang menyebabkan perusahaan melakukan penyesuaian produksi dan PHK untuk efisiensi.

Dengan rencana pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12% untuk barang mewah, Nailul menilai bahwa langkah ini hanya akan memperburuk kondisi perekonomian Indonesia. "Beban biaya tambahan ini akan semakin menyulitkan masyarakat," tutupnya.

Pernyataan Nailul Huda ini menjadi sorotan di tengah upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara melalui pajak, namun di sisi lain, tantangan yang dihadapi masyarakat semakin berat. Ke depan, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan daya beli masyarakat.***